Rabu, 03 Agustus 2011

PTN Mahal?

Les Privat FisMat-C - Pendidikan harus menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan dunia industri.
Pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab membiayai pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Kenyataannya, anggaran pemerintah kita kurang memadai untuk mengelola pendidikan tinggi yang berkualitas.
Anggaran yang minim tidak sejalan dengan tuntutan menjadikan perguruan tinggi negeri (PTN) sebagai universitas kelas dunia. Oleh karena itu, cita-cita membentuk universitas riset hanyalah mimpi di siang bolong.
Ketika sebuah lembaga internasional mengumumkan peringkat universitas-universitas di dunia, kita merasa terabaikan. Yang masuk peringkat tersebut hanya beberapa universitas ternama di Indonesia, seperti ITB, UI, dan IPB. Padahal, jumlah perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak.
Unit biaya pendidikan tinggi terkait erat dengan mutu penyelenggaraan pendidikan. Biaya rendah akan mengorbankan kualitas yang hendak dicapai. Peningkatan mutu dosen, aktivitas riset, dan pelaksanaan proses belajar-mengajar memerlukan biaya besar, dan itu semua merupakan satu kesatuan untuk menghasilkan sarjana yang kompeten.
Beberapa PTN sejak beberapa tahun terakhir telah berkreasi menciptakan jalur seleksi mahasiswa dengan biaya mahal. Fakultas kedokteran ada yang menawarkan biaya masuk hingga lebih dari Rp 150 juta. Bisa jadi, ke depan tidak ada lagi dokter dari keluarga miskin.
Jalur penerimaan mahasiswa dengan sistem reguler (berbiaya relatif murah) adalah 60 persen dari total bangku universitas. Peluang kuliah dengan biaya kelas rakyat inilah yang diperebutkan oleh ratusan ribu calon mahasiswa. Sementara 40 persen sisanya buat mahasiswa kaya.
PTN merasa sah-sah saja menawarkan program jalur mahal ini ke masyarakat. Alasannya, pendidikan di perguruan tinggi memerlukan biaya tidak sedikit dan subsidi pemerintah selama ini tidak pernah mencukupi. Dengan demikian, peluang menjadi mahasiswa lebih besar pada anak-anak yang orangtuanya memiliki banyak uang.
Apakah ini berarti pendidikan tinggi tengah mengarah pada kapitalisme? Bagaimana nasib bangsa ini jika pendidikan yang baik hanya dapat dinikmati oleh orang-orang kaya?
Tertutupnya pintu masuk ke perguruan tinggi bagi orang miskin—karena biaya pendidikan yang mahal—membuat kesempatan orang miskin untuk keluar dari keterpurukan ekonomi semakin terbatas. Padahal, jumlah orang miskin di Indonesia masih lebih dari 30 juta orang.
Internasionalisasi
Salah satu alternatif untuk mendanai perguruan tinggi adalah membuka kelas-kelas internasional. Sebagian PTN sudah membuka program studi internasional yang dapat menarik mahasiswa asing dengan perkuliahan berbahasa Inggris. Ini adalah langkah strategis untuk mendapatkan pemasukan dana dari mahasiswa asing.
Kekuatan besar yang mendorong perguruan tinggi untuk membuka jalur internasional adalah adanya globalisasi, kompetisi, dan tuntutan ekonomi. Program internasional akan menetapkan tarif SPP yang jauh lebih besar daripada tarif SPP lokal. Hal ini sah-sah saja karena perguruan tinggi di negara-negara lain juga menerapkan kebijakan ini. Dengan demikian, penerimaan dana oleh PTN menjadi lebih terjamin.
Yang kita harapkan adalah cara-cara mencari dana yang dilakukan PTN hendaknya tetap dalam koridor sehingga tidak memunculkan sinisme di kalangan masyarakat.
Kalau kita bandingkan dengan keadaan di luar negeri, mereka yang melanjutkan studi di perguruan tinggi adalah yang mampu otaknya dan mampu ekonominya untuk membayar SPP. Di Amerika Serikat (AS), yang namanya state university umumnya mematok biaya SPP lebih murah dibandingkan dengan universitas swasta. Namun, tetap saja masuk perguruan tinggi di AS mahal. Mahalnya SPP ini dipikul secara merata oleh mahasiswa, jadi tak ada mahasiswa yang karena kemampuan ekonominya tinggi jadi lebih berpeluang diterima.
Rintisan untuk membuka program internasional sebenarnya dimulai awal tahun 1980-an, ketika puluhan mahasiswa Malaysia menempuh pendidikan S-1 di IPB. Tahun 1990-an, Program Pascasarjana SEAMEO TROPMED UI menerima mahasiswa dari Asia Tenggara.
Kampus PTN yang besar dan megah sebenarnya dapat menjadi modal dasar untuk menampung mahasiswa asing. Sayangnya, kita hanya bisa membangun, tetapi tidak bisa merawat. Di luar negeri, perawatan sangat diperhatikan sehingga semua insan akademik betah di kampus.
Apabila predikat kampus internasional telah diraih, uang bisa mengalir ke universitas dari mahasiswa asing. Dosen-dosen yang pintar, energik, dan inovatif dapat direkrut sehingga universitas benar-benar didukung oleh SDM andal.
Peluang masuk perguruan tinggi harus dibuat sama untuk seluruh masyarakat. Perguruan tinggi wajib menetapkan uang bangku dan SPP standar yang berlaku umum. Standardisasi dilakukan setelah menghitung secara cermat subsidi dari pemerintah dan dana-dana yang dihasilkan dari kegiatan Tri Dharma (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat).
Tanpa melupakan penelitian dasar, PTN juga bisa menjalin kerja sama riset dengan industri agar tidak mencari dana masyarakat dengan mematok biaya awal kuliah yang mencekik.
Kemdiknas dengan plafon anggaran 20 persen APBN harus lebih saksama lagi dalam mengalokasikan dana penyelenggaraan pendidikan di PTN. Isu tak sedap tentang rendahnya daya serap anggaran Kemdiknas seharusnya menjadi pemicu untuk merancang anggaran pendidikan secara lebih baik sehingga masyarakat dapat meraih pendidikan setinggi-tingginya dengan biaya terjangkau.
*Ali Khomsan Dosen FEMA IPB

sumber: sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Cheap Web Hosting